FIFA: Biarkan Saja Erick Thohir Jadi Menteri, Selama PSSI Tidak Diintervensi
Dulu, hidup itu penuh drama. Pagi-pagi bangun, kita sudah disuguhi berbagai macam isu dan intrik yang membuat kepala pening. Dan salah satu intrik paling legendaris di tanah air ini adalah soal "rangkap jabatan". Seolah-olah, seseorang yang menjabat dua posisi sekaligus itu pasti berbuat salah, pasti ada udang di balik bakwan, pasti ada niat tersembunyi untuk menguasai dunia.
Terakhir, drama ini menimpa salah satu pahlawan sepak bola kita, Bapak Erick Thohir. Setelah sukses menata PSSI, beliau kini naik tahta menjadi Menpora. Masalahnya, posisi Ketum PSSI-nya belum dilepas. Otomatis, ribuan pengamat dadakan di media sosial langsung berteriak, "Wah, ini pelanggaran! FIFA pasti marah! Ini tidak profesional!"
Kita semua menunggu. Seperti menunggu adegan penentuan di sinetron, apakah sang tokoh utama akan dimarahi oleh bos besarnya, si "Bapak FIFA" alias Gianni Infantino. Apa yang akan terjadi? Apakah PSSI akan disanksi? Apakah Indonesia akan dibekukan dari sepak bola internasional lagi?
Tapi, ternyata... tidak ada drama. Tidak ada adegan marah-marah. Yang ada malah ucapan selamat. FIFA, melalui Presiden-nya, dengan santai mengucapkan selamat kepada Erick Thohir atas jabatan barunya. Bahkan, Infantino memuji kinerja beliau saat memimpin PSSI. Sontak, warganet yang tadinya sudah siap-siap bawa obor untuk protes, kini cuma bisa bengong.
Jadi, begini lho, sebenarnya di dalam aturan FIFA itu ada yang namanya pasal sakti. Pasal itu intinya bilang, boleh kok ada pejabat pemerintah yang juga jadi pengurus federasi. Yang penting, jangan ada intervensi dari pemerintah. Federasi harus mandiri. Jadi, selama Pak Erick tidak memakai jabatannya sebagai menteri untuk "mengintervensi" PSSI, seperti misalnya mengancam bakal motong anggaran atau sejenisnya, FIFA ya santai saja.
Masalahnya, di Indonesia, "intervensi" dan "koordinasi" itu terkadang beda tipis. Persis seperti perbedaan antara "basa-basi" dan "serius" saat ada temanmu bilang, "Kapan-kapan main ke rumahku, ya!" Kita semua tahu, kalimat itu lebih sering berakhir sebagai wacana. Tapi, ya sudahlah. Toh, yang penting sekarang kita tahu, bahwa persoalan rangkap jabatan itu bukan soal jabatan itu sendiri, melainkan soal etika dan batasannya.
Ternyata, dunia sepak bola tidak sesederhana yang kita bayangkan. Begitu juga dengan rangkap jabatan. Kadang, yang kita kira salah, justru ternyata biasa-biasa saja. Kalau begitu, drama selanjutnya apa, ya? Mungkin kita tunggu saja, para dramawan di jagat maya pasti sudah menyiapkan naskah baru.
Label: Lainnya