🌙

Sumur Minyak Rakyat Blora: Antara Cuan dan Nyawa yang Tak Seimbang

Dulu, kita kenal Blora itu karena Samin Surosentiko dan sate blora yang legendaris. Sekarang, berkat media sosial dan satu-dua insiden yang viral, Blora mulai dikenal dengan hal lain: sumur minyak rakyat.

Bukan, ini bukan sumur minyak besar layaknya kilang Pertamina yang dijaga ketat dengan teknologi canggih. Ini sumur yang digali oleh warga lokal, yang konon pakai alat seadanya, dan untungnya cuma bisa dirasakan segelintir orang. Saking "seadanya", sumur-sumur ini seringkali disebut sebagai wujud nyata dari kearifan lokal. Kearifan yang seringkali berisiko tinggi.

Tapi, ya, begitulah. Setelah sekian lama sumur-sumur ini dibiarkan "hidup" dalam ketidakjelasan status, tiba-tiba api berkobar. Beberapa nyawa melayang. Dan seperti sudah menjadi pakem di negeri ini, baru setelah ada korban, barulah negara bergerak. ESDM Jawa Tengah akhirnya bersuara, mengumumkan akan memvalidasi 5.500 sumur minyak yang sudah ada di Blora. Total sumur yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari jumlah follower Instagram saya.

Validasi. Kata yang indah, yang terdengar sangat birokratis dan penuh harapan. Padahal, ya, ini adalah sebuah ironi yang begitu telanjang. Kemarin-kemarin ke mana saja? Ribuan sumur itu sudah ada di sana, di lahan warga, di pinggir sawah, bahkan mungkin di dekat kandang kambing. Tapi negara seolah pura-pura buta. Mereka membiarkan warga mengais rezeki dari perut bumi dengan cara-cara yang berbahaya, dan baru datang setelah insiden maut terjadi.

Validasi ini ibaratnya seperti datang ke acara pernikahan setelah janur kuning sudah layu, dan kemudian bertanya, "Ini benar-benar resmi kan ya?" Tentu saja, tujuannya baik. Agar sumur-sumur ini aman. Agar tidak ada lagi korban. Tapi, bukankah seharusnya upaya validasi ini sudah dilakukan sejak dulu? Sebelum korban berjatuhan? Sebelum api membara dan minyak menyebar?

Pada akhirnya, drama sumur minyak rakyat di Blora ini mengajarkan kita satu hal. Bahwa di Indonesia, regulasi itu seringkali datang belakangan. Seperti pemadam kebakaran yang baru tiba setelah rumah sudah hangus. Dan para warga? Mereka tidak peduli dengan birokrasi, validasi, atau regulasi. Mereka hanya peduli dengan satu hal: dapur yang harus terus mengepul. Dan di antara risiko ledakan dan hidup yang terus berjalan, mereka hanya berharap, semoga keberuntungan selalu ada di sisi mereka.

Label:

Komentar [0]
Tulisan sebelumnya: