๐ŸŒ™

Narsisisme Adalah Topeng Kesempurnaan yang Gampang Robek

Wahai saudara-saudari yang budiman,

Seringkali kita mendapati orang-orang di sekeliling kita yang hidupnya tampak sempurna. Pakaiannya necis, prestasi kerjanya mentereng, postingan Instagram-nya estetik, dan setiap tutur katanya seolah sudah terfilter layaknya air mineral galon. Pendek kata, mereka adalah definisi dari "sempurna", tanpa cela, tanpa cacat, tanpa keraguan sedikit pun.

Namun, di balik topeng kesempurnaan itu, ada satu hal yang kerap bersemayam: narsisisme. Bukan, ini bukan sekadar narsis yang hobi selfie di depan cermin, melainkan narsisisme dalam arti yang lebih klinis. Mereka adalah manusia-manusia yang sangat meyakini bahwa mereka adalah maha karya agung Tuhan yang tak boleh ternodai.

Lantas, apa yang terjadi ketika sang maha karya ini melakukan kesalahan? Misalnya, ketika presentasi di kantornya ternyata kacau balau, atau ketika selfie andalannya tak mendapat like sebanyak biasanya?

Di sinilah drama psikologis paling brutal dimulai.

Orang biasa mungkin akan merasa malu, kecewa, dan kemudian belajar dari kesalahan. Tapi bagi seorang narsisis, rasa malu bukanlah emosi biasa. Rasa malu ini adalah musuh bebuyutan yang mengancam kehancuran citra kesempurnaan yang telah susah payah mereka bangun. Ibaratnya, citra sempurna itu adalah sebuah istana kaca, dan rasa malu adalah sebuah batu yang dilemparkan oleh orang lainโ€”atau lebih mengerikan lagi, oleh diri mereka sendiri.

Dalam kepala mereka, terjadi pertempuran sengit:

  1. Mekanisme Pertahanan: Ego mereka langsung mengeluarkan jurus andalan: menyalahkan orang lain. "Presentasi ini gagal karena proyektornya jelek," atau "Ini semua gara-gara teman kerja saya yang bodoh itu." Semakin parah rasa malunya, semakin keras pula usaha mereka untuk mencari kambing hitam.
  2. Kemarahan sebagai Perisai: Karena tidak bisa menerima bahwa dirinya salah, mereka akan mengalihkan rasa malu itu menjadi amarah. Marah kepada orang lain, marah kepada situasi, bahkan marah kepada takdir. Kemarahan ini berfungsi sebagai tameng, menutupi kerentanan yang paling mereka takuti.
  3. Proyeksi Diri: Jurus terakhir dan paling berbahaya. Ketika mereka tidak bisa lagi menyalahkan orang atau situasi, mereka akan memproyeksikan rasa malu itu kepada orang lain. Mereka akan menuduh orang lain iri, dengki, atau sok suci, padahal sejatinya tuduhan itu adalah cerminan dari perasaan mereka sendiri.

Jadi, ketika Anda melihat seseorang yang sangat reaktif terhadap kritik, yang selalu menyalahkan orang lain, atau yang tiba-tiba melampiaskan amarah karena hal sepele, jangan langsung menganggap mereka "drama queen". Bisa jadi di dalam otaknya sedang terjadi peperangan besar antara citra kesempurnaan yang mereka bangun dengan kenyataan bahwa mereka, layaknya kita semua, hanyalah manusia biasa yang bisa berbuat salah.

Mungkin, kita tidak perlu memuji-muji mereka sampai ke langit ketujuh. Cukup berikan mereka secangkir kopi, dan ingatkan: "Hei, santai saja. Kita semua pernah membuat kesalahan kok." Karena yang paling mereka butuhkan bukanlah pujian, melainkan sedikit empati. Tapi, ya, kalau berani...

Label:

Komentar [0]
Tulisan sebelumnya: