🌙

Ketika Internet Merayakan Kejatuhan, dan Kita Ikut Berpesta

Di era di mana media sosial menjadi etalase hidup yang paling jujur (katanya), ada satu tren yang tak pernah lekang oleh waktu: merayakan kejatuhan orang lain. Bukan, ini bukan tentang euforia ketika tim sepak bola idola kita menang. Ini tentang sebuah kesenangan kolektif yang dingin, ketika melihat seseorang yang dulunya diagung-agungkan, kini terperosok dalam lubang aib yang dalam.

Dulu, kita mungkin menyebutnya gosip. Tapi sekarang, gosip itu punya nama baru yang lebih keren: cancel culture. Konon, ini adalah bentuk keadilan sosial yang ditegakkan oleh rakyat jelata di dunia maya. Ketika ada tokoh publik, selebriti, atau bahkan teman kita sendiri yang melakukan kesalahan, jari-jemari warganet langsung bersatu padu, mengadili, menghakimi, dan menuntut pemboikotan sampai yang bersangkutan 'terjatuh' dari singgasananya.

Secara teori, cancel culture terdengar mulia. Sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, membongkar kepalsuan, dan memastikan tidak ada yang kebal hukum moral. Tapi di tengah jalan, esensinya seringkali melenceng. Yang tadinya adalah bentuk koreksi, kini berubah menjadi sebuah pesta pora. Ketika seseorang dihujat, jutaan orang yang tadinya tak tahu menahu tiba-tiba ikut-ikutan. Mereka merasa menjadi bagian dari sebuah gerakan besar, padahal yang mereka lakukan hanya ikut-ikutan melempar batu di kerumunan.

Kita semua, secara sadar atau tidak, adalah bagian dari pesta ini. Ketika kita mengklik tombol share, menulis komentar pedas, atau sekadar menonton video aib yang viral, kita ikut merayakan. Ada semacam kepuasan yang didapat, seolah-olah aib orang lain membuat hidup kita terasa lebih baik, atau setidaknya tidak seburuk mereka.

Lalu, apa yang tersisa dari semua ini? Kerusakan reputasi, depresi, dan trauma psikologis bagi sang korban. Dan bagi kita yang merayakan? Paling-paling cuma rasa senang yang sebentar, sebelum akhirnya beralih ke 'korban' berikutnya. Kita lupa bahwa di balik layar, mereka yang jatuh itu juga manusia. Sama seperti kita, yang punya cela, yang bisa berbuat salah, dan yang juga layak mendapat kesempatan kedua.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti berpesta di atas penderitaan orang lain. Sudah saatnya kita kembali ke fitrah manusia: berempati. Karena di dunia ini, roda nasib terus berputar. Hari ini kita mungkin jadi juri, tapi siapa tahu, esok hari kitalah yang menjadi terdakwa.

Label:

Komentar [0]
Tulisan sebelumnya: